Selasa, 06 Maret 2018

Realitas pt 1

*<Bukan Tausiyah, sekadar tulisan singkat>*

http://www.abc.net.au/news/2004-07-24/council-bans-goldfish-bowls/2014352

Berita lama, tahun 2004, tentang pelaragan akuarium ikan yang bentuknya melengkung. Pemerkasa pelarangan itu menjelaskan, alasannya bahwa memelihara ikan dalam bowl(aquarium melengkung itu) merupakan suatu bentuk penyiksaan karena ketika ikan memandang ke luar, ikan ituakan mendapat pandangan yang melenceng akan realitas.

Pertanyaanya adalah.
1. Bagaimana kita tahu bahawa kita sendiri berada pada realitas yang sejati dan tak melenceng?
2. Mungkinkah kita sebenarnya seperti ikan tersebut, dalam aquarium yang besar dan pandangan kita melenceng oleh seseuatu lensa besar?
3. Meski pandangan yang kita miliki dan ikan dalam aquarium itu berbeda, tapi bisakah kita yakin akan penglihatan yang kita lihat itu sejati?

Perbedaan pandangan akan ikan dan kita menimbulkan adanya perbedaan perumusan hukum-hukum pengamatan, terutama pada objek di luar akuarium. Sebagai contoh, diluar akuarium kita mengamati gerak benda bergerak pada lintasan yang lurus sedangkan pengamatan oleh ikan menghukumi pengamatan benda diluar akuarium itu sebagai benda yang bergerak melengkung, karena distorsi. Meskipun begitu, kerangka hukum yang diciptakan ikan dari kerangka rujukan (referensi) terdistorsi akan berlaku dan memungkinkan ikan untuk membuat prediksi-prediksi gerak benda yang terjadi diluar aquarium tersebut.

Meskipun pandangan atau referensi penglihatan ikan dengan kita berbeda tapi kita harus mengakui bahwa pandangan hukum yang dibuat itu sebagai gambaran realitas yang sahih.

Sebagai contoh gambaran realitas yang berbeda ini adalah model *Ptolemaeus(2 85-165M)* dengan model heliosentris *Aristharkhos*.

_Almagest_ atau al-Mijitshi buku karangan Ptolemaeus menjelaskan banyak tentang model yang dibuatnya.
-Bumi tak bergerak
-Bumi sebagai pusat alam semesta
-Bumi itu bulat
-Implikasi bumi bulat dia merinci bagaimana gerakan benda2 langit dengan orbit yang rumit, sperti roda yang saling tumpang tindih
-sangat kecil jika dibandingkan dengan bentang alam semesta

Aristarkhos --> teori heliosentris, pasti tahulah...
-bumi bukan sebagai pusat alam semestar
-bumi dapat bergerak

Ada pula tentang bumi datar yang merupakan perkembangan rasio dari orang-orang yunani yang menyetujui sebagian-sebagian dari model Ptolemaeus atau Aristharkhos. Meskipun Aristoteles, orang yunani juga, menentang  model teori bumi datar.
Model bumi datar
-bumi tak bergerak
-pusat alam semesta

Model Ptolemeaus (Geosentri) dan bumi datar terkesan alami karena bumi yang kita injak tidak bergerak(kecuali ketika gempa, vertigo, atau dilanda perasaan asmara😂).

Keterbatasan wacana sesudah dari penaklukan Alexandaria membuat referensi pembelajaran Eropa bersumber pada wacana Yunani, Model jagat raya Ptolemaeus dan Aristotle yang digunakan Gereja Katolik sebgai doktrin resmi.

Mungkin udah pada tau gimana cerita selanjutnya, bagaimana giordano bruno menyamar menjadi pasteur dan mengatakan bahwa kitabnya salah tafsir. bagaimana Galileo dan Kopernikus berusaha merevisi doktrin gereja dan pembuktian model heliosentris Aristharkhos serta revisi perhitungan yang lebih kompleks sebagai pendukungnya.

https://id.wikipedia.org/wiki/Klaudius_Ptolemaeus
https://id.wikipedia.org/wiki/Bumi_datar
http://melangkahdengankaki.blogspot.co.id/2015/01/fisika-astronomi.html

So, pertanyaan selanjutnya model alam semesta mana yang benar
*Kopernikus* atau *Ptolemeaus* ???

Walau lazimnya orang berkata kalau Kopernikus membuktikan Ptolemeaus salah, sebenarnya *hal itu keliru*.
Sebagaimana kasus ikan dalam akuarium melengkung tadi yang mampu menjabarkan hukum fisis sesuai kerangka hukumnya. *Kedua model itu bisa digunakan sebagai model alam semesta*, karena pengamatan kita atas benda angkasa sama sama bisa dijelaskan dengan kerangka bumi atau matahari yang diam. Keduanya dapat memberikan penjelasan.

Meskipun ini menjadi debat filosofis yang seru tentang hakikat alam semesta tapi sebenarnya kelebihan kopernikus adalah perhitungannya akan gerak benda angkasa menjadi lebih simple dengan mengasumsikan matahari diam daripada mengasumsikan bumi yang diam.

Dalam memahami realitas, ada pula yang memahami realitas sebagai khayalan layaknya hidup dalam sebuh simulasi dunia komputer. Dimana umat manusia tidak sadar bahwa sesungguhnya hidup dalam realitas maya yang diciptakan komputer cerdas. Hal itu tidak juga mengada-mengada seperti game *The Sims*.

Bagaimana kita mengetahui kalau kita bukan sekadar tokoh wayang dalam sebuah komputer?

Jika kita hidup dalam dunia khayalan maka kerangka hukum fisis yang ada tidak memiliki konsistensi dan tidak logis.
Bisa jadi sosok pengendali ingin bagaimana pohon bisa tumbuh dari sepatu atau bulan tiba-tiba meledak hanya karena ingin melihat bagaimana reaksi kita terhadap hal itu.
Tapi jika sosok pengendali itu menjalankan kerangka hukum fisis yang konsisten, kita akan sulit menentukan apakah ini adalah sebuah simulasi atau bukan. Mungkin kita akan menyebut dunia sosok pengendali itu sebagai dunia 'nyata' sedangkan kita adalah dunia 'buatan'.
Itulah versi modern kalau dunia ini sekadar khayalan.

Bersambung....


Referensi: Stephen Hawking. Grand Design.

Utamadonny
Cilegon, 5 Maret 2018.

Kamis, 28 Desember 2017

Dinamika Perjuangan Mendapatkan Perguruan Tinggi

Tepatnya satu tahun yang lalu saya 'banting tulang' untuk mengejar cita-cita di perguruan tinggi. Mulai dari ikut Try Out SBMPTN hingga ikut bimbel bahkan tak hanya itu saya pun merogoh kocek lebih dalam lagi untuk membeli akun video pembelajaran online. Semua itu pengorbanan yang mutlak demi masuk ke Perguruan Tinggi.

Memang, bukan bermaksud merendahkan diri, saya menyadari lulusan SMK pasti akan kesulitan menjawab soal soal SBMPTN ini. Hal itu saya landaskan ketika mengikuti try out pada bulan desember tahun lalu. Saat try out pertama kali memang tekanan soal sangat terasa karena saya terlalu menghayati bahwa itu adalah ujian yang sesungguhnya. Dalam kepala saya "Apa yakin dengan begini bisa lulus?" Saya melihat peserta try out tampak antusias sebelum dimulai, mereka mengeluarkan buku-buku catatannya, bercengkrama dengan peserta lainnya menanyakan sebuah rumus, teori, dan materi lainnya. Sedang saya dengan smartphone saya, asik dan tenang tidak membuka buku catatan sedikitpun sebelum memulai ujian try outnya, justru saya menyempatkan untuk chatting. Meski begitu tetap saja menegangkan.

Sebetulnya, saya menyadari seluruh tantangan yang akan saya dapatkan di ujian ini. Sejak semester 1 awal kelas 3 SMK, saya mulai bergerak menyiapkan perangkat untuk menghadapi tantangan itu. Belajar. Ya, saya mengajak seluruh kawan-kawan saya di smk yang ingin lanjut ke perguruan tinggi untuk belajar bersama. Usaha itu berhasil. Kami belajar bersama, fisika, kimia, matematika serta bahasa. Kami bersama-sama menerawang kedepan materi-materi pelajaran yang sebelumnya tidak pernah diajarkan di sekolah. Namun sayang, kegiatan itu hanya berlangsung sekitar 4 bulan. Kawan-kawan saya memutuskan untuk lanjut ke dunia industri. Bekerja.

Kata orang kalau mau sukses itu ya harus usaha dan bisa berfikir kedepan (visioner). Sebelum 4 bulan bubarnya belajar bersama. Saya mengkontak beberapa kawan yang sekolah di menengah atas untuk membantu saya (kami) untuk belajar. Meski kawan-kawan smk telah memutuskan untuk bekerja saya masih memiliki kawan dari sma untuk lanjut belajar atau lebih enak disebut 'mengajari' saya. Hingga akhirnya pertemuan kami kurang intens sehingga belajar ini menjadi kurang efektif lagi. Jadi saya memutuskan untuk ikut bimbel pada semester 2.

Berkembang. Itu yang saya rasakan ketika mengikuti bimbel. Oh iya, sebelumnya saat semester 1 awal itu saya atau seluruh siswa di smk 'dinasehati' jika ikut bimbel diluar sekolah maka ambil kelas smk, karena sma dan smk berbeda materinya. Sebetulnya sih ada benarnya nasihat tersebut tapi apa bedanya jika saya masih mampu mengikuti alur gerak materi di sekolah, karena target saya juga agar mampu mengerjakan soal-soal SBMPTN nanti. Akhirnya saya mengambil bimbel kelas sma pada semester 2.

Mitos perbedaan materi ternyata bukan sekadar mitos, saya merasa rendah sekali saya dalam kelas itu, pekan pekan awal saya mengikuti bimbel saya terpaku dan berusaha memahami materi. Fokus. Fokus akan tujuan. Hingga saya 'melupa' untuk kenalan dengan kawan baru di tempat les. Mereka tahu betul nama saya, tapi saya tidak :D . Pulang dari tempat bimbel, memang idealnya untuk belajar lagi tapi saya isi dengan kegiatan perenungan, menangis meratapi nasib dalam benak saya berteriak "Kenapa dulu tidak lanjut ke sma saja? Kenapa dulu dengan idealnya bilang kalau mau langsung kerja?" Mungkin ini perkara nyata soal nasi telah menjadi bubur, tapi mau itu nasi atau bubur tetap saja menghilangkan lapar. Tinggal saya saja yang mengolah bubur ini mau saya apakan...


Minggu, 28 Agustus 2016

Halo....

        Lama tak menulis di blog ini. Melihat wajah blog yang masih kosong dan hanya ada segelintir pos di blog ini rasanya ingin sekali menuangkan ide di blog sendiri. Biasanya sih di blogoundrium.blogspot.com
        Membuka kembali blog ini seperti membuka kenangan 3 tahun lalu, ketika penulis sedang bersusah payah mengejar kelulusan SMP. Les, berdoa, solat duha, semua dilakukan penulis atas ketakutan akan kegagalan saat Ujian Nasional. Saat ini pun sama penulis sebentar lagi akan dihadapkan dengan masalah yang sama. Kelulusan.
        Ketakutan memanglah wajar bagi manusia karena sudah menjadi sunatullah manusia untuk memiliki alarm pengendali diri. Ketakutan ini menjadi penting bagi manusia itu sendiri. Misalnya ketika ingin menyebrang jalan maka takut tertabrak mobil, ketika ingin memakan ikan takut durinya tersangkut di tenggorokan, ketika ingin mudik dengan pesawat takut kecelakaan udara. Memang sih pikiran kita agak lebay, tapi coba bayangkan jika kita tak memiliki alarm tersebut?