Kamis, 28 Desember 2017

Dinamika Perjuangan Mendapatkan Perguruan Tinggi

Tepatnya satu tahun yang lalu saya 'banting tulang' untuk mengejar cita-cita di perguruan tinggi. Mulai dari ikut Try Out SBMPTN hingga ikut bimbel bahkan tak hanya itu saya pun merogoh kocek lebih dalam lagi untuk membeli akun video pembelajaran online. Semua itu pengorbanan yang mutlak demi masuk ke Perguruan Tinggi.

Memang, bukan bermaksud merendahkan diri, saya menyadari lulusan SMK pasti akan kesulitan menjawab soal soal SBMPTN ini. Hal itu saya landaskan ketika mengikuti try out pada bulan desember tahun lalu. Saat try out pertama kali memang tekanan soal sangat terasa karena saya terlalu menghayati bahwa itu adalah ujian yang sesungguhnya. Dalam kepala saya "Apa yakin dengan begini bisa lulus?" Saya melihat peserta try out tampak antusias sebelum dimulai, mereka mengeluarkan buku-buku catatannya, bercengkrama dengan peserta lainnya menanyakan sebuah rumus, teori, dan materi lainnya. Sedang saya dengan smartphone saya, asik dan tenang tidak membuka buku catatan sedikitpun sebelum memulai ujian try outnya, justru saya menyempatkan untuk chatting. Meski begitu tetap saja menegangkan.

Sebetulnya, saya menyadari seluruh tantangan yang akan saya dapatkan di ujian ini. Sejak semester 1 awal kelas 3 SMK, saya mulai bergerak menyiapkan perangkat untuk menghadapi tantangan itu. Belajar. Ya, saya mengajak seluruh kawan-kawan saya di smk yang ingin lanjut ke perguruan tinggi untuk belajar bersama. Usaha itu berhasil. Kami belajar bersama, fisika, kimia, matematika serta bahasa. Kami bersama-sama menerawang kedepan materi-materi pelajaran yang sebelumnya tidak pernah diajarkan di sekolah. Namun sayang, kegiatan itu hanya berlangsung sekitar 4 bulan. Kawan-kawan saya memutuskan untuk lanjut ke dunia industri. Bekerja.

Kata orang kalau mau sukses itu ya harus usaha dan bisa berfikir kedepan (visioner). Sebelum 4 bulan bubarnya belajar bersama. Saya mengkontak beberapa kawan yang sekolah di menengah atas untuk membantu saya (kami) untuk belajar. Meski kawan-kawan smk telah memutuskan untuk bekerja saya masih memiliki kawan dari sma untuk lanjut belajar atau lebih enak disebut 'mengajari' saya. Hingga akhirnya pertemuan kami kurang intens sehingga belajar ini menjadi kurang efektif lagi. Jadi saya memutuskan untuk ikut bimbel pada semester 2.

Berkembang. Itu yang saya rasakan ketika mengikuti bimbel. Oh iya, sebelumnya saat semester 1 awal itu saya atau seluruh siswa di smk 'dinasehati' jika ikut bimbel diluar sekolah maka ambil kelas smk, karena sma dan smk berbeda materinya. Sebetulnya sih ada benarnya nasihat tersebut tapi apa bedanya jika saya masih mampu mengikuti alur gerak materi di sekolah, karena target saya juga agar mampu mengerjakan soal-soal SBMPTN nanti. Akhirnya saya mengambil bimbel kelas sma pada semester 2.

Mitos perbedaan materi ternyata bukan sekadar mitos, saya merasa rendah sekali saya dalam kelas itu, pekan pekan awal saya mengikuti bimbel saya terpaku dan berusaha memahami materi. Fokus. Fokus akan tujuan. Hingga saya 'melupa' untuk kenalan dengan kawan baru di tempat les. Mereka tahu betul nama saya, tapi saya tidak :D . Pulang dari tempat bimbel, memang idealnya untuk belajar lagi tapi saya isi dengan kegiatan perenungan, menangis meratapi nasib dalam benak saya berteriak "Kenapa dulu tidak lanjut ke sma saja? Kenapa dulu dengan idealnya bilang kalau mau langsung kerja?" Mungkin ini perkara nyata soal nasi telah menjadi bubur, tapi mau itu nasi atau bubur tetap saja menghilangkan lapar. Tinggal saya saja yang mengolah bubur ini mau saya apakan...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar